Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc mengisi dua kegiatan penting di Pascasarjana Universitas Islam Negeri Ar-Raniry pada Jumat (11/8/2023). Kegiatan pertama yaitu Working Group Guru Besar dengan tema “Kontribusi Ilmu Fiqh terhadap Pengembangan Hukum Nasional” yang diikuti oleh para guru besar yang ada di UIN Ar-Raniry serta turut dihadiri oleh Rektor UINAR, Prof. Mujiburrahman, M.Ag.
Prof. Yusril dalam materinya menyampaikan bagaimana hukum-hukum Islam, baik yang tertuang jelas dalam al-Qur’an dan Hadis ataupun hukum yang lahir dari ijtihad para ulama fiqh menjadi pegangan hukum yang kuat bagi umat manusia dalam segala aspek kehidupan. Beliau juga menyampaikan bahwa banyak ketegangan dan perselisihan yang terjadi antara hukum Islam dan adat suatu daerah, namun inilah tugas para ulama fiqh untuk menemukan satu titik temu dan harmoni untuk menghilangkan perselisihan.
“Menurut saya yang paling penting bagi kita menjadikan sumber hukum nasional itu yang pertama adalah hukum adat, hukum Islam, hukum ex-kolonial Belanda yang sudah kita terima dan konvensi hukum internasional baik yang sudah kita ratifikasi atau tidak kita ratifikasi” tambah beliau.
Dalam proses penegakan hukum terkait terorisme Prof. Yusril pernah merumuskan Perpu dengan mengadopsi Statuta Roma yang belum diratifikasi, beliau terpaksa merumuskan hukum yang berlaku surut dalam kasus terorisme Bom Bali pada tahun 2002 demi penegakan keadilan pada kejahatan berat (serious crime) seperti terorisme, namun akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Prof. Yusril juga menyebutkan bahwa kita butuh tokoh-tokoh cendekiawan dan intelektual yang mumpuni untuk melakukan kajian dan selanjutnya mensosialisasikan pemikiran tersebut kepada masyarakat.
Setelah kegiatan Working Group Guru Besar, Prof. Yusril juga melanjutkan dengan kegiatan kedua yaitu menjadi promotor pada sidang promosi doktor mahasiswa bimbingannya dari Program Studi S3 Fiqh Modern, Dr. Zulfahmi yang berlangsung di Aula Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh bersama Prof. Dr. Syahrizal Abbas, MA sebagai Co-Promotor. Hukum Islam adalah salah satu sumber hukum nasional, bersama hukum adat dan hukum peninggalan Belanda. Karena itu, diperlukan peran besar akademisi UIN Ar-Raniry untuk menjadikan hukum Islam (fikih) itu masuk ke dalam sistem hukum nasional. Ini memerlukan kerja keras karena fikih harus menyesuaikan diri dengan sistem hukum Indonesia. Selain itu, fikih juga harus mendapatkan sentuhan perubahan untuk penyesuaian dengan kebutuhan masyarakat modern. Yang lebih penting lagi, memasukkan fikih ke dalam bagian dari sistem hukum nasional harus melalui perjuangan parlementer; tidak cukup hanya kecakapan akademik kalangan kampus tetapi juga kecakapan politis para tokoh yang diharapkan dapat memperjuangkannya. Dalam banyak hal, perjuangan politik ini sangat menentukan keberhasilan pengundangan suatu rancangan aturan.
Selama ini, fikih sudah berperan banyak dalam pembentukan banyak peraturan perundangan di Indonesia, misalnya UU tentang wakaf dan uu perkawinan. Hanya saja, ketika sudah menjadi uu, nama fikih atau hukum Islam menjadi hilang karena sudah berganti nama. Inilah yang kita perlukan, “ hal yang penting substansi fikih masuk ke dalam banyak regulasi di Indonesia, sedangkan persoalan nama dan istilah teknis lainnya dapat diabaikan”.
Hal penting lain menurut Prof. Yusril bahwa kadangkala kita salah dalam membuat aturan. Penentuan logo halal, misalnya, untuk Indonesia, yang penting sebenarnya adalah penetuan logo haram, bukan logo halal sebagaimana selama ini kita temui. Hal ini dikarenakan masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam sehingga secara otomatis pemerintah harus sudah memastikan dan menjamin bahwa semua produk yang beredar di negara mayoritas muslim ini adalah produk halal tanpa perlu membubuhkan logonya. Menurut Yusril logo halal diperlukan di negara yang masyarakatanya adalah minoritas muslim, sedangkan logo haram diperlukan oleh masyarakat mayoritas Muslim, untuk menunjukkan makanan tersebut tidak dapat di konsumsi atau digunakan oleh masyarakat muslim. Di ujung paparannya Yusril berharap, masyarakat muslim Indonesia jangan menjadi masyarakat mayoritas tetapi berpikir seperti minoritas di negara sendiri.